"Kurban: Membunuh "Aku" untuk Lahirnya Ibrahim Sejati."

Advertisement

"Kurban: Membunuh "Aku" untuk Lahirnya Ibrahim Sejati."

SHAREGAPPS.WEB.ID
Sabtu, 07 Juni 2025


sharegapps.web.id

Ismail dalam konteks ini tidak hanya merujuk pada sosok anak biologis, tetapi secara metaforis, ia adalah simbol dari segala yang paling kita cintai dan genggam dalam hidup ini—nafsu, ego, ambisi, atau bahkan identitas diri yang kita bangun. Puncak pengorbanan Ibrahim bukanlah pada tindakan fisik menyembelih putranya, melainkan pada penyembelihan ego (rasa 'aku' atau 'ana') yang melekat pada Ismail sebagai sumber kebanggaan, harapan, atau keterikatan duniawi.


Rumi mengajarkan bahwa hidup sejati

 (kehidupan Ibrahim yang sesungguhnya) baru dapat dimulai ketika "aku" yang penuh kesombongan, keterikatan, dan keterbatasan telah disembelih. Rasa "aku" ini, yang senantiasa menuntut, membandingkan, dan merasa superior, adalah penghalang utama menuju penyerahan diri total dan kesadaran Ilahi. Dengan "menyembelih" rasa "aku" tersebut, Ibrahim (dan kita) dapat melampaui batas-batas egoisme dan mencapai level kesadaran yang lebih tinggi, di mana kehendak pribadi menyatu dengan Kehendak Yang Lebih Besar.


Maka, kurban bukan hanya tentang ritual eksternal, melainkan sebuah transformasi internal yang menyakitkan namun esensial. Ini adalah panggilan untuk melepaskan belenggu ego, menghancurkan ilusi kepemilikan, dan membiarkan diri yang baru—yang lebih rendah hati, pasrah, dan terhubung dengan kebenaran—untuk lahir.


Sumber: fb. Tadarus Filsafat

(Red)